A Syauki Mahmudi-270110090034

MINERAL
Mineral adalah sebagian besar zat-zat yang ada dalam bumi dan terbentuk dari persenyawaan organik dan anorganik, mengandung sifat-sifat fisik dan kimia tertentu.
a. Sifat-sifat Fisik Mineral
Dalam pengenalan mineral yang harus diperhatikan adalah sifat-sifat lain seperti sifat magnet, optik dan radioaktif. Adapun sifat-sifat fisik dari mineral yang penting yaitu :
1. Color ( warna )
2. Cleavage ( belahan )
3. Fracture ( Pecahan )
4. Streak ( goresan )
5. Luster ( kilap )
6. Hardness ( kekerasan )
7. Specific Grafity ( berat jenis )
1. Color ( warna )
Warna yang dipantulkan mineral terdapat bermacam- macam, ini tergantung dari panjang gelombang sinar yang dipantulkannya. Seorang ahli mineralogi bernama Qorner membagi atas 7 macam warna dasar mineral yaitu putih, abu-abu, hitam, biru, hijau, kuning, merah dan coklat.
Beberapa mineral mempunyai warna yang tetap seperti kuning, sulfur; kemera-merahan (pink). Yang menyebabkan perubahan warna dasar adalah banyak sedikitnya impuritis (kotoran), baik berupa unsur, atau campurannya yang terkandung dalam mineral tersebut.
2. Cleavage ( belahan )
Apabila suatu mineral mendapat tekanan yang melampaui batas elastisnya maka mineral itu akan pecah. Cleavage merupakan tendensi pecahnya mineral menurut batasan tertentu sepanjang permukaan yang tertentu, atau dengan kata lain, jika pecahnya mineral mengikuti permukaan yang sesuai dengan struktur kristalnya akan memperlihatkan suatu cleavage. Ini merupakan hasil dari bentuk atom dari reguler layers, dimana kohesi yang lebih lunak akan merupakan garis dengan yang lainnya.
Arah dari cleavage ini dapat ditentukan dengan ; 1 arah, 2 arah, 3 arah, dan 6 arah ( sodalite ).
Pada mica misalnya dikatakan flakey atau berlapis-lapis, serpih yang mempunyai 1 arah atau single direction.
Cleavage dapat dibagi atas bagus tidaknya permukaan bidang cleavagenya :
1. Perfect (sempurna), bidang cleavage sangat rata, bila pecah tidak melalui bidang cleavage agak sukar.
2. Good (baik), bidang cleavage rata, tapi tidak sebaik perfect, masih dapat pecah pada arah lain.
3. Distinct (jelas), bidang cleavage jelas tapi tidak begitu rat dan dapat pecah pada arah lain dengan mudah.
4. Indistinct (tidak jelas), dimana kemungkinan untuk membentuk cleavage dan facture adalah sama besar.
3. Fracture ( pecahan )
Fracture merupakan bentuk halus atau kecil dari permukaan mineral sesudah pecah pada mineral massive yang beraturan.
Fracture dapat dibagi dalam :
1. Conchoidal ( arca, bentuk shell ), pecahan berbentuk kulit kerang, misal kuarsa, obsidian. Bila bentuk ini sebagian disebut sub-conchoidal.
2. Even ( agak kasar ), hampir mendekati bidang datar.
3. Uneven, permukaan pecahnya kasar seperti kebanyakan mineral.
4. Hakly, pecahnya tajam seperti besi putus.
4. Streak ( goresan )
Pada masalah sterak (goresan) ini yang diperhatikan adalah warna daripada bubuk atau tepung hasil goresan suatu mineral. Hasil goresan ini bisa didapatkan diatas plat, dimana mineral digoreskan pada plat dan biasanya mineral digoreskan pada permukaan patahan porselen. Tiap-tiap mineral akan memberikan warna goresan yang berbeda. Contoh : dullred, cinabar; kuning limonite; indian red, hematite.
5. Luster ( kilap )
Kilap dari mineral merupakan sinar pantulan dari permukaan mineral yang diterima oleh mata manusia. Perbedaan panjang gelombang sinar ini menimbulkan perbedaan dari luster.
Pembagian besar dari kilap ini adalah :
1. Kilap logam ( metalic luster )
2. Kilap bukan logam ( non metalic luster )
Mineral yang mempunyai kilap logam seperti emas, perak, timah hitam, tembaga, aluminium, dll. Mineral-mineralnya mempunyai kilap opak ( opaque ). Bila mineral ini di tumbuk halus maka warna tepungnya akan lebih gelap ( hitam ) dari mineral aslinya.
Ada beberapa mineral yang mempunyai kilap antara kilap logam dan bukan logam, yang disebut submetalic luster. Kilap bukan logam dibagi lagi atas beberapa kilap. Mineral yang mempunyai kilap bukan logam bila diasah tipis akan transparan, dan bila ditumbuk warna tepungnya akan lebih muda ( putih )= lighter dari mineral aslinya.
Pembagian kilap bukan logam (non metalic luster ).
1. Adamantine luster, merupakan kilap intan. Bila ada yang submetallic dinamakan metallic admantine luster, misalnya cerrusite. Kilap intan ini juga disebut brilliant luster.
Contoh : diamond (intan), anglosite, vanadinite, zircon, rutile.
2. Kilap kaca (vitroous) atau glassy
Kilap ini merupakan kilap kaca pecah.
Contoh : quartz, obsidian, fluorite, barite, halite, tourmaline, opal, olivine.
3. Kilap resinous ( kilap damar )
Kilap ini merupakan kilap kuning damar. Juga disebut Waxy (Turquoise).
Contoh : opal, sulphur, realgar.
4. Kilap lemak ( greasy luster ), Oily
Kilap ini merupakan kilap glase yang berminyak. Kilap ini mendekati kilap resinous.
Contoh : graphite, cryolite, scheolite,dll.
5. Kilap mutiara ( pearly luster )
Kilap ini seperti mutiara, bila bersatu dengan sub metallic dinamakan metllic pearly, misal hypersthene.
Contoh : mica, talk, calcite, chlorite, dll.
6. Kilap sutera ( silky luster )
Kilap ini merupakan sutera, biasanya mineral yang mempunyai struktur fibrous ( serabut ) atau menyerat.
Contoh : fibrous calcite dan serpentine ( asbes ), gypsum, pumice.
7. Kilap tanah ( earthy luster )
Kilap ini juga disebut kilap guram ( dull ) poda mineral kempal.
Contoh : bauxite, kaoline, carn otite.
Note : mengenai kilap dari tiap-tiap mineral dibedakan intensitasnya; baik, sangat baik, dan tidak baik
b. Brightness Of Surface atau Degree Of Luster
Ini merupakan intensitas dari pada kilap. Maka dapat dibedakan atas tingkatan dari intensitasnya :
§ SPLENDENT, mempunyai refleksi yang sangat indah sekali dengan briliancy dan memberikan batasan bayangan yang baik, misal pada mineral hematit, cassiterite.
§ SHINING, dimana refleksinya menghasilkan suatu gambaran, tetapi tidak memberikan suatu batasan yang baik, misalnya celastite.
§ GLIMNERING, menghasilakn imperfect refleksi dan kelihatan titik- titik pada seluruh permukaan, misal batu api ( flint ).
§ GLISTERING, menghasilkan refleksi umum pada permukaan, tetapi tidak ada gambaran ( image ).
§ DULL, suatu mineral dikatakan dull apabila tidak ada sama sekali mempunyai kilap, misal kapur tulis, kaoline.
6. Hardness ( kekerasan )
Kekerasan dari mineral diartikan sebagai daya tahan mineral terhadap goresan ( scraching ) pada permukaannya, atau ketahanan terhadap abrasi. Seorang ahli mineralogi bernama Triedrich Mohr pada tahun 1822, tingkatan dari kekerasan secara relatif ( scale of relatif ) atau sering disebut dengan skala Mohs yang dimulai dengan talc dengan kekerasan 1 dan diakhiri dengan Diamond (intan) dengan kekerasan 10.
Tingkatan kekerasan ini tidak menunjukkan suatu kekerasan kepastian, jadi kekerasan 9 ( curondum ) kekerasannya tidak sama dengan 3 kali kekerasan 3 ( calcite ).
Dengan kata lain bahwa mineral yang mempunyai kekerasan lebih tinggi akan mendapat menggores mineral yang mempunyai kekerasan lebih rendah. Misalnya apatite akan dapat menggores mineral yang mempunyai fluorite sampai talc. Untuk dapat mengirakan kekerasan mineral sewaktu-waktu atau di lapangan dapat diberikan pembatasan sebagai berikut :
Kekerasan dibawah, 2 ½ dapat digores dengan kuku jari.
3 dapat digores dengan mata uang logam.
5 ½ dengan mata pisau, kaca jendela.
6 ½ dengan kikir baja ( steel file ).
7. Specific Gravity ( berat jenis )
Berat jenis ini biasanya diukur di laboratorium, di mana berat mineral dibandingkan dengan berat air murni.
Pada pengenalan mineral perlu juga diketahui gunanya untuk membedakan mineral- mineral yang mungkin kelihatannya mineral sama bentuk, warna luster, dllnya, maka dengan menimbang-nimbang mineral dengan tangan terasa perbedaan beratnya untuk mineral yang sama besarnya, misal antara hematite dan magnetite.
Sifat-sifat lain yang biasa diteliti, seperti :
1. Magnetis, misalnya magnetite, bisa tertarik besi magnet.
2. Malleable, sifatnya bila ditumbuk bisa sampai pipih, misal emas dan perak murni, tembaga.
3. Flexible, elastic, pada mineral mica.
4. Radioactive, diukur dengan alat Geiger Counter, uranite, carnotite.
5. Sectile, adalah mineral yang dapat dipotong dengan pisau tanpa menjadi tepung dan bila dipukul dengan palu akan menjadi tepung, misalnya , mineral gypsum.
6. Brittle, bila bagian-bagian dari suaatu mineral akan terpisah menjadi tepung atau butir-butir diwaktu diasah atau dipotong, misalnya calcite.
7. Opalescence dan Iridescence merupakan permainan warna dari mineral. Opalescence merupakan pantulan seperti mutiara atau susu ( pearly or milky ) dari dalam specimen, misal opal dan dalam mata kucing. Tridescence berarti menunjukkan seperti warna prisma yang keluar dari permukaan mineral.
8. Asterism, bila kelihatan cahaya seperti sinar bintang yang aneh keluar dari dalam mineral. Pada sapphire kelihatan sinar refleksi sebanyak 7 sinar bintang yang dapat diteliti dengan seksama.
9. Fluorescence, dari dalam suatu benda akan mengeluarkan cahaya yang merupakan pemancaran sinar langsung.
10. Phosporescence, merupakan pengeluaran cahaya yang bersambung dari fluorescence, tetapi tidak sama dengan menyala.
c. Penggolongan Mineral
a) Penggolongan mneral menurut Berzolxus :
1. Native element.
2. Silpmides ( termasuk sulpnosalt )
3. Oxide dan hydroxides
4. Kalydes
5. Carbonates, nitrates, borates, iodates
6. Sulphates, chrometes, molybdates, tungstates
7. Phosphat, arsetates, vanadates
8. Silicates
b) Penggolongan mineral menurut komposisi kimia :
1. Golongan unsur
2. Golongan sulfida
3. Golongan halogen
4. Golongan oksida
5. Golongan karbonat
6. Golongan sulfar
7. Golongan fosfat
8. Golongan silikat 
9. Golongan organogen

JENIS METAMORFISME
Berdasarkan kenampakan hasil metamorfisme pada batuan, prosesnya dapat dikelompokkan menjadi deformasi mekanik (mechanical deformation) dan rekristalisasi kimia (chemical recrystalisation). Deformasi mekanik akan cenderung menghancurkan, menggerus, dan membentuk foliasi. Rekristalisasi kimia merupakan proses perubahan komposisi mineral serta pembentukan mineral-mineral baru, dimana H2O dan CO2terlepas akibat terjadinya kenaikan suhu.
Perbedaan jenis metamorfisme mencerminkan perbedaan tingkat atau derajat kedua prose situ. Adapun metamorfisme dibagi menjadi 4 berdasarkan penyebab utamanya yaitu bisa akibat suhu dan atau tekanan tinggi:

1.             Metamorfisme Kataklastik (Cataclastic metamorphism)
2.             Metamorfisme Kontak (Contact metamorphism)
3.             Metamorfisme Timbunan (Burial metamorphism)
4.             Metamorfisme Regional (Regional metamorphism)

METAMORFISME KATAKLASTIK (Cataclastic metamorphism)
Terkadang proses deformasi mekanik pada metamorfisme dapat berlangsung tanpa disertai rekristalisasi kimia. Meskipun jarang terjadi, walaupun terjadi sifatnya hanya setempat saja. Misalnya batuan yang berbutir kasar seperti granit jika mengalami diferensial stress yang kuat, butirannya akan hancur menjadi lebih halus.
Apabila ini terjadi pada batuan yang bersifat regas (britle) mengalami stress namun tidak hancur dan berlanjut pada proses metamorfisme maka butiran dan fragmen batuannya akan menjadi lonjong (elongated), dan berkembanglah foliasi.



METAMORFISME KONTAK (Contact metamorphism)
Metamorfisme kontak terjadi akibat adanya intrusi tubuh magma panas pada batuan yang dingin dalam kerak bumi. Akibat kenaikan suhu, maka rekristalisasi kimia memegang peran utama. Sedangkan deformasi mekanik sangat kecil, bahkan tidak ada, karena stress disekitar magma relatif homogen. Batuan yang terkena intrusi akan mengalami pemanasan dan termetamorfosa, membentuk suatu lapisan di sekitar intrusi yang dinamakan aureole metamorphic (batuan ubahan). Tebal lapisan tersebut tergantung pada besarnya tubuh intrusi dan kandungan H2O di dalam batuan yang diterobosnya. Misalkan pada korok ataupun sill yang seharusnya terbentuk lapisan setebal beberapa meter hanya akan terbentuk beberapa centimeter saja tebalnya apabila tanpa H2O. Batuan metamorf yang terjadi sangat keras terdiri dari mineral yang seragam dan halus yang saling mengunci (interlocking), dinamakan Hornfels.Pada intrusi berskala besar, bergaris tengah sampai ribuan meter menghasilkan energy panas yang jauh lebih besar, dan dapat mengandung H2O yang sangat banyak. Aureol yang terbentuk dapat sampai ratusan meter tebalnya dan berbutir kasar. Di dalam lapisan yang tebal yang sudah dilalui cairan ini, terjadi zonasi himpunan mineral yang konsentris. Zona ini mencirikan kisaran suhu tertentu. Dekat intrusi dimana suhu sangat tinggi dijumpai mineral bersifat anhidrous seperti garnet dan piroksen. Kemudian mineral bersifat hidrous seperti amphibol dan epidot. Selanjutnya mika dan klorit.Tektur dari zonasi tersebut tergantung pada komposisi kimia batuan yang diterobosnya, cairan yang melaluinya serta suhu dan tekanan.

METAMORFISME TIMBUNAN (Burial metamorphism)
Batuan sedimen bersama perselingan piroklastik yang tertimbun sangat dalam pada cekungan dapat mencapai suhu 3000 atau lebih. Adanya H2O yang terperangkap di dalam porinya akan mempercepat proses rekristalisasi kimia dan membantu pembentukan mineral baru. Oleh karena batuan sedimen yang mengandung air lebih bersifat cair daripada padat, maka tegasan (stress) yang bekerja leih bersifat homogen, bukan diferensial. Akibatnya pada metamorfisme timbunan pengaruh deformasi mekanik sangat kecil sekali sehingga teksturnya mirip dengan batuan asalnya, meskipun himpunan mineralnya sama sekali berbeda.
Ciri khas pada metamorfisme ini adalah adalah kelompok mineral zeolit, yang merupakan kelompok mineral berstruktur Kristal polymer silikat. Komposisi kimianya sama dengan kelompok feldspar, yang juga mengandung H2O. Metamorfisme timbunan merupakan tahap pertama diagenesa, terjadi pada cekungan sedimen yang dalam, seperti palung pada batas lempeng. Apabila suhu dan tekanan naik, maka metamorfisme timbunan meningkat menjadi metamofisme regional.





METAMORFISME REGIONAL (Regional metamorphism)
Batuan metamorf yang dijumpai di kerak bumi dengan penyebaran sangat luas sampai puluhan ribu kilometer persegi, dibentuk oleh metamorfisme regional dengan melibatkan deformasi mekanik dan rekristalisasi kimia sehingga memperlihatkan adanya foliasi. Batuan ini umumnya dijumpai pada deretan pegunungan atau yang sudah tererosi, berupa batu sabak (slate), filit, sekis dan gneiss. Deretan pegunungan dengan batuan metamorf regional terbentuk akibat subduksi atau collision. Pada collision batuan sedimen sepanjang batas lempeng akan mengalami diferensial stress yang intensif sehingga muncul bentuk foloiasi yang khas seperti batu sabak, sekis dan gneiss. Sekis hijau dan amfibolit dijumpai dimana segmen kerak samudra purba yang berkomposisi masuk zona subduksi dan bersatu dengan kerak benua dan kemudian termetamorfosa. Ketika segmen kerak mengalami stress kompresi horizontal, batuan dalam kerak akan terlipat dan melengkung (bukling). Akibatnya bagian dasar mengalami peningkatan suhu dan tekanan, dan mineral baru mulai tumbuh. 

Sumber: Sapiie, Benyamin. anonim. Geologi Fisik. Bandung: ITB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar