MINERAL
Mineral adalah sebagian besar zat-zat yang ada
dalam bumi dan terbentuk dari persenyawaan organik dan anorganik, mengandung
sifat-sifat fisik dan kimia tertentu.
a. Sifat-sifat Fisik Mineral
Dalam pengenalan
mineral yang harus diperhatikan adalah sifat-sifat lain seperti sifat magnet,
optik dan radioaktif. Adapun sifat-sifat fisik dari mineral yang penting yaitu
:
1. Color ( warna )
2. Cleavage ( belahan )
3. Fracture ( Pecahan )
4. Streak ( goresan )
5. Luster ( kilap )
6. Hardness ( kekerasan )
7. Specific Grafity ( berat jenis )
1. Color ( warna )
Warna yang dipantulkan
mineral terdapat bermacam- macam, ini tergantung dari panjang gelombang sinar
yang dipantulkannya. Seorang ahli mineralogi bernama Qorner membagi atas 7
macam warna dasar mineral yaitu putih, abu-abu, hitam, biru, hijau, kuning,
merah dan coklat.
Beberapa mineral mempunyai
warna yang tetap seperti kuning, sulfur; kemera-merahan (pink). Yang
menyebabkan perubahan warna dasar adalah banyak sedikitnya impuritis (kotoran),
baik berupa unsur, atau campurannya yang terkandung dalam mineral tersebut.
2. Cleavage ( belahan )
Apabila suatu mineral
mendapat tekanan yang melampaui batas elastisnya maka mineral itu akan pecah.
Cleavage merupakan tendensi pecahnya mineral menurut batasan tertentu sepanjang
permukaan yang tertentu, atau dengan kata lain, jika pecahnya mineral mengikuti
permukaan yang sesuai dengan struktur kristalnya akan memperlihatkan suatu
cleavage. Ini merupakan hasil dari bentuk atom dari reguler layers, dimana
kohesi yang lebih lunak akan merupakan garis dengan yang lainnya.
Arah dari cleavage ini
dapat ditentukan dengan ; 1 arah, 2 arah, 3 arah, dan 6 arah ( sodalite ).
Pada mica misalnya
dikatakan flakey atau berlapis-lapis, serpih yang mempunyai 1 arah atau single
direction.
Cleavage dapat dibagi
atas bagus tidaknya permukaan bidang cleavagenya :
1. Perfect
(sempurna), bidang cleavage sangat rata, bila pecah tidak melalui bidang
cleavage agak sukar.
2. Good (baik),
bidang cleavage rata, tapi tidak sebaik perfect, masih dapat pecah pada arah
lain.
3. Distinct
(jelas), bidang cleavage jelas tapi tidak begitu rat dan dapat pecah pada arah
lain dengan mudah.
4. Indistinct
(tidak jelas), dimana kemungkinan untuk membentuk cleavage dan facture adalah
sama besar.
3. Fracture (
pecahan )
Fracture merupakan
bentuk halus atau kecil dari permukaan mineral sesudah pecah pada mineral
massive yang beraturan.
Fracture dapat dibagi
dalam :
1. Conchoidal (
arca, bentuk shell ), pecahan berbentuk kulit kerang, misal kuarsa, obsidian.
Bila bentuk ini sebagian disebut sub-conchoidal.
2. Even ( agak
kasar ), hampir mendekati bidang datar.
3. Uneven,
permukaan pecahnya kasar seperti kebanyakan mineral.
4. Hakly,
pecahnya tajam seperti besi putus.
4. Streak (
goresan )
Pada masalah sterak
(goresan) ini yang diperhatikan adalah warna daripada bubuk atau tepung hasil
goresan suatu mineral. Hasil goresan ini bisa didapatkan diatas plat, dimana
mineral digoreskan pada plat dan biasanya mineral digoreskan pada permukaan
patahan porselen. Tiap-tiap mineral akan memberikan warna goresan yang berbeda.
Contoh : dullred, cinabar; kuning limonite; indian red, hematite.
5. Luster ( kilap )
Kilap dari mineral
merupakan sinar pantulan dari permukaan mineral yang diterima oleh mata
manusia. Perbedaan panjang gelombang sinar ini menimbulkan perbedaan dari
luster.
Pembagian besar dari
kilap ini adalah :
1. Kilap logam ( metalic luster )
2. Kilap bukan logam ( non metalic luster )
Mineral yang mempunyai
kilap logam seperti emas, perak, timah hitam, tembaga, aluminium, dll.
Mineral-mineralnya mempunyai kilap opak ( opaque ). Bila mineral ini di tumbuk
halus maka warna tepungnya akan lebih gelap ( hitam ) dari mineral aslinya.
Ada beberapa
mineral yang mempunyai kilap antara kilap logam dan bukan logam, yang disebut
submetalic luster. Kilap bukan logam dibagi lagi atas beberapa kilap. Mineral
yang mempunyai kilap bukan logam bila diasah tipis akan transparan, dan bila
ditumbuk warna tepungnya akan lebih muda ( putih )= lighter dari mineral
aslinya.
Pembagian kilap bukan
logam (non metalic luster ).
1. Adamantine
luster, merupakan kilap intan. Bila ada yang submetallic dinamakan metallic
admantine luster, misalnya cerrusite. Kilap intan ini juga disebut brilliant
luster.
Contoh : diamond
(intan), anglosite, vanadinite, zircon, rutile.
2. Kilap kaca (vitroous) atau glassy
Kilap ini merupakan
kilap kaca pecah.
Contoh : quartz, obsidian, fluorite, barite,
halite, tourmaline, opal, olivine.
3. Kilap resinous ( kilap damar )
Kilap ini merupakan
kilap kuning damar. Juga disebut Waxy (Turquoise).
Contoh : opal,
sulphur, realgar.
4. Kilap lemak ( greasy luster ), Oily
Kilap ini merupakan
kilap glase yang berminyak. Kilap ini mendekati kilap resinous.
Contoh : graphite,
cryolite, scheolite,dll.
5. Kilap mutiara ( pearly luster )
Kilap ini seperti
mutiara, bila bersatu dengan sub metallic dinamakan metllic pearly, misal
hypersthene.
Contoh : mica, talk,
calcite, chlorite, dll.
6. Kilap sutera ( silky luster )
Kilap ini merupakan
sutera, biasanya mineral yang mempunyai struktur fibrous ( serabut ) atau
menyerat.
Contoh : fibrous
calcite dan serpentine ( asbes ), gypsum, pumice.
7. Kilap tanah ( earthy luster )
Kilap ini juga disebut
kilap guram ( dull ) poda mineral kempal.
Contoh : bauxite,
kaoline, carn otite.
Note : mengenai kilap dari tiap-tiap mineral
dibedakan intensitasnya; baik, sangat baik, dan tidak baik
b. Brightness Of Surface atau Degree Of Luster
Ini merupakan
intensitas dari pada kilap. Maka dapat dibedakan atas tingkatan dari
intensitasnya :
§ SPLENDENT, mempunyai refleksi yang sangat
indah sekali dengan briliancy dan memberikan batasan bayangan yang baik, misal
pada mineral hematit, cassiterite.
§ SHINING, dimana refleksinya menghasilkan suatu
gambaran, tetapi tidak memberikan suatu batasan yang baik, misalnya celastite.
§ GLIMNERING, menghasilakn imperfect refleksi
dan kelihatan titik- titik pada seluruh permukaan, misal batu api ( flint ).
§ GLISTERING, menghasilkan refleksi umum pada
permukaan, tetapi tidak ada gambaran ( image ).
§ DULL, suatu mineral dikatakan dull apabila
tidak ada sama sekali mempunyai kilap, misal kapur tulis, kaoline.
6. Hardness ( kekerasan )
Kekerasan dari mineral
diartikan sebagai daya tahan mineral terhadap goresan ( scraching ) pada
permukaannya, atau ketahanan terhadap abrasi. Seorang ahli mineralogi bernama
Triedrich Mohr pada tahun 1822, tingkatan dari kekerasan secara relatif ( scale
of relatif ) atau sering disebut dengan skala Mohs yang dimulai dengan talc
dengan kekerasan 1 dan diakhiri dengan Diamond (intan) dengan kekerasan 10.
Tingkatan kekerasan
ini tidak menunjukkan suatu kekerasan kepastian, jadi kekerasan 9 ( curondum )
kekerasannya tidak sama dengan 3 kali kekerasan 3 ( calcite ).
Dengan kata lain bahwa
mineral yang mempunyai kekerasan lebih tinggi akan mendapat menggores mineral
yang mempunyai kekerasan lebih rendah. Misalnya apatite akan dapat menggores
mineral yang mempunyai fluorite sampai talc. Untuk dapat mengirakan kekerasan
mineral sewaktu-waktu atau di lapangan dapat diberikan pembatasan sebagai
berikut :
Kekerasan dibawah, 2 ½ dapat digores dengan
kuku jari.
3 dapat digores dengan
mata uang logam.
5 ½ dengan mata pisau,
kaca jendela.
6 ½ dengan kikir baja
( steel file ).
7. Specific Gravity ( berat jenis )
Berat jenis ini biasanya
diukur di laboratorium, di mana berat mineral dibandingkan dengan berat air
murni.
Pada pengenalan
mineral perlu juga diketahui gunanya untuk membedakan mineral- mineral yang
mungkin kelihatannya mineral sama bentuk, warna luster, dllnya, maka dengan
menimbang-nimbang mineral dengan tangan terasa perbedaan beratnya untuk mineral
yang sama besarnya, misal antara hematite dan magnetite.
Sifat-sifat lain yang
biasa diteliti, seperti :
1. Magnetis,
misalnya magnetite, bisa tertarik besi magnet.
2. Malleable,
sifatnya bila ditumbuk bisa sampai pipih, misal emas dan perak murni, tembaga.
3. Flexible,
elastic, pada mineral mica.
4. Radioactive,
diukur dengan alat Geiger Counter, uranite, carnotite.
5. Sectile,
adalah mineral yang dapat dipotong dengan pisau tanpa menjadi tepung dan bila
dipukul dengan palu akan menjadi tepung, misalnya , mineral gypsum.
6. Brittle, bila
bagian-bagian dari suaatu mineral akan terpisah menjadi tepung atau butir-butir
diwaktu diasah atau dipotong, misalnya calcite.
7. Opalescence
dan Iridescence merupakan permainan warna dari mineral. Opalescence merupakan
pantulan seperti mutiara atau susu ( pearly or milky ) dari dalam specimen,
misal opal dan dalam mata kucing. Tridescence berarti menunjukkan seperti warna
prisma yang keluar dari permukaan mineral.
8. Asterism, bila
kelihatan cahaya seperti sinar bintang yang aneh keluar dari dalam mineral.
Pada sapphire kelihatan sinar refleksi sebanyak 7 sinar bintang yang dapat
diteliti dengan seksama.
9. Fluorescence,
dari dalam suatu benda akan mengeluarkan cahaya yang merupakan pemancaran sinar
langsung.
10. Phosporescence,
merupakan pengeluaran cahaya yang bersambung dari fluorescence, tetapi tidak
sama dengan menyala.
c. Penggolongan Mineral
a) Penggolongan mneral menurut Berzolxus :
1. Native element.
2. Silpmides ( termasuk sulpnosalt )
3. Oxide dan hydroxides
4. Kalydes
5. Carbonates, nitrates, borates, iodates
6. Sulphates, chrometes, molybdates, tungstates
7. Phosphat, arsetates, vanadates
8. Silicates
b) Penggolongan mineral menurut komposisi kimia :
1. Golongan unsur
2. Golongan sulfida
3. Golongan halogen
4. Golongan oksida
5. Golongan karbonat
6. Golongan sulfar
7. Golongan fosfat
8. Golongan silikat
9. Golongan organogen
JENIS METAMORFISME
Berdasarkan kenampakan hasil metamorfisme pada batuan, prosesnya
dapat dikelompokkan menjadi deformasi mekanik (mechanical deformation) dan
rekristalisasi kimia (chemical recrystalisation). Deformasi mekanik akan
cenderung menghancurkan, menggerus, dan membentuk foliasi. Rekristalisasi kimia
merupakan proses perubahan komposisi mineral serta pembentukan mineral-mineral
baru, dimana H2O dan CO2terlepas akibat terjadinya
kenaikan suhu.
Perbedaan jenis metamorfisme mencerminkan perbedaan tingkat atau
derajat kedua prose situ. Adapun metamorfisme dibagi menjadi 4 berdasarkan
penyebab utamanya yaitu bisa akibat suhu dan atau tekanan tinggi:
1.
Metamorfisme Kataklastik
(Cataclastic metamorphism)
2.
Metamorfisme Kontak (Contact
metamorphism)
3.
Metamorfisme Timbunan
(Burial metamorphism)
4.
Metamorfisme Regional
(Regional metamorphism)
METAMORFISME KATAKLASTIK (Cataclastic metamorphism)
Terkadang proses deformasi mekanik pada metamorfisme dapat
berlangsung tanpa disertai rekristalisasi kimia. Meskipun jarang terjadi,
walaupun terjadi sifatnya hanya setempat saja. Misalnya batuan yang berbutir
kasar seperti granit jika mengalami diferensial stress yang kuat, butirannya
akan hancur menjadi lebih halus.
Apabila ini terjadi pada batuan yang bersifat regas (britle)
mengalami stress namun tidak hancur dan berlanjut pada proses metamorfisme maka
butiran dan fragmen batuannya akan menjadi lonjong (elongated), dan
berkembanglah foliasi.
Metamorfisme kontak terjadi akibat adanya intrusi tubuh magma
panas pada batuan yang dingin dalam kerak bumi. Akibat kenaikan suhu, maka
rekristalisasi kimia memegang peran utama. Sedangkan deformasi mekanik sangat
kecil, bahkan tidak ada, karena stress disekitar magma relatif homogen. Batuan
yang terkena intrusi akan mengalami pemanasan dan termetamorfosa, membentuk
suatu lapisan di sekitar intrusi yang dinamakan aureole metamorphic (batuan
ubahan). Tebal lapisan tersebut tergantung pada besarnya tubuh intrusi dan
kandungan H2O di dalam batuan yang diterobosnya. Misalkan pada korok
ataupun sill yang seharusnya terbentuk lapisan setebal beberapa meter hanya
akan terbentuk beberapa centimeter saja tebalnya apabila tanpa H2O.
Batuan metamorf yang terjadi sangat keras terdiri dari mineral yang seragam dan
halus yang saling mengunci (interlocking), dinamakan Hornfels.Pada intrusi
berskala besar, bergaris tengah sampai ribuan meter menghasilkan energy panas
yang jauh lebih besar, dan dapat mengandung H2O yang sangat banyak.
Aureol yang terbentuk dapat sampai ratusan meter tebalnya dan berbutir kasar.
Di dalam lapisan yang tebal yang sudah dilalui cairan ini, terjadi zonasi
himpunan mineral yang konsentris. Zona ini mencirikan kisaran suhu tertentu.
Dekat intrusi dimana suhu sangat tinggi dijumpai mineral bersifat anhidrous
seperti garnet dan piroksen. Kemudian mineral bersifat hidrous seperti amphibol
dan epidot. Selanjutnya mika dan klorit.Tektur dari zonasi tersebut tergantung
pada komposisi kimia batuan yang diterobosnya, cairan yang melaluinya serta
suhu dan tekanan.
METAMORFISME TIMBUNAN (Burial metamorphism)
Batuan sedimen bersama
perselingan piroklastik yang tertimbun sangat dalam pada cekungan dapat
mencapai suhu 3000 atau lebih. Adanya H2O
yang terperangkap di dalam porinya akan mempercepat proses rekristalisasi kimia
dan membantu pembentukan mineral baru. Oleh karena batuan sedimen yang
mengandung air lebih bersifat cair daripada padat, maka tegasan (stress) yang
bekerja leih bersifat homogen, bukan diferensial. Akibatnya pada metamorfisme
timbunan pengaruh deformasi mekanik sangat kecil sekali sehingga teksturnya
mirip dengan batuan asalnya, meskipun himpunan mineralnya sama sekali berbeda.
Ciri khas pada metamorfisme ini adalah adalah kelompok mineral
zeolit, yang merupakan kelompok mineral berstruktur Kristal polymer silikat.
Komposisi kimianya sama dengan kelompok feldspar, yang juga mengandung H2O.
Metamorfisme timbunan merupakan tahap pertama diagenesa, terjadi pada cekungan
sedimen yang dalam, seperti palung pada batas lempeng. Apabila suhu dan tekanan
naik, maka metamorfisme timbunan meningkat menjadi metamofisme regional.
METAMORFISME REGIONAL (Regional metamorphism)
Batuan metamorf yang
dijumpai di kerak bumi dengan penyebaran sangat luas sampai puluhan ribu
kilometer persegi, dibentuk oleh metamorfisme regional dengan melibatkan
deformasi mekanik dan rekristalisasi kimia sehingga memperlihatkan adanya
foliasi. Batuan ini umumnya dijumpai pada deretan pegunungan atau yang sudah
tererosi, berupa batu sabak (slate), filit, sekis dan gneiss. Deretan
pegunungan dengan batuan metamorf regional terbentuk akibat subduksi atau
collision. Pada collision batuan sedimen sepanjang batas lempeng akan mengalami
diferensial stress yang intensif sehingga muncul bentuk foloiasi yang khas
seperti batu sabak, sekis dan gneiss. Sekis hijau dan amfibolit dijumpai dimana
segmen kerak samudra purba yang berkomposisi masuk zona subduksi dan bersatu
dengan kerak benua dan kemudian termetamorfosa. Ketika segmen kerak mengalami
stress kompresi horizontal, batuan dalam kerak akan terlipat dan melengkung
(bukling). Akibatnya bagian dasar mengalami peningkatan suhu dan tekanan, dan
mineral baru mulai tumbuh.
Sumber: Sapiie, Benyamin. anonim. Geologi Fisik. Bandung: ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar