PETROLOGI
BATUBARA
Pengetahuan
tentang petrologi batubara dirintis oleh wiliam hutton (1883). Analisis
petrologi yang di lakukan dengan menggunakan sayatan tipis awalnya untuk
mengidenfikasi jenis tumbuhan pembentukan batubara.
Studi
tentang petrologi batubara di perkaya dengan penemuan stopes (1919) dan
thiessen (1920). Stopes mempergunakan microskop untuk mendukung hasil pemerian.
Stopes dan Thiesen sama –sama menggunakan teknik sayatan tipis, tetapi Stopes
pada akhirnya menggunakan sinar pantul .
Pada
tahun 1930 diperkenalkan suatu teknik baru yang menjadi bagian dari ilmu
pertologi batubara yaitu pengukuran refleksi maceral dan kegunaannya adalah
sebagai parameter derajat batubara. Pada tahun 1935, Stopes memperkenalkan
konsep maceral yang dapat di artikan sebagai komponen terkecil dari batubara
(mineral pada batuan), konsep maceral ini yang tetap dipakai sampai saat ini ,
pada waktu itu para ahli mencoba mencari hubungan antara komposisi petrologi
dengan sifat-sifat keteknikan dari batubara. Seperti di ketahui bahwa batubara
yang kaya akan kelompok maceral vitrinit dan exsinit mempunyai perbedaan nyata
di dalam sifat pencairan , penggasan dan pembakaran, jika dibandingkan dengan
batubara yang kaya akan inertinit.
Studi
tentang batubara mengalami pengembangan pesat, sementara sejak tahun 1960-an
antara lain di teliti lebih lanjut tentang :
1. Petrologi
gambut, untuk mengetahui jenis tumbuhan pembentuk
2. Faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhi proses pembatubaraan
3. Hubungan
antara petrologi batubara dengan sedimentasi
4. Tingkat
oksidasi
5. Teknologi
batubara seperti pengkokasan, pencairan penggosongan dan pembakaran
Dengan
perkembangannya petrologi batubara, suatu teknik baru di perkenalkan yaitu :
penggunaan sinar ultra violet dan mikroskop automatik sinar ultraviolet umumnya
di pergunakan pada kelompok lignit yang kaya hydrogen.
1. KOMPOSISI
PETROLOGI BATUBARA
Petrologi
batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen organik dan bukan organik
pembentuk batubara. Untuk memepelajari petrologi batubara umumnya di tinjau
dalam 2 aspek yaitu jenis dan drajat batubara . dan perkembangannya di
pengaruhi oleh proses kimia dan biokimia selama proses penggambutan. Dengan
demikian jelas bahwa batubara itu bukan suatu benda homogen, melain terdiri
dari beberapa macam komponen dasar, di dalam batubara komponen ini dinamakan
maceral sedang maceral dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu vitrinit, eksinit,
dan inertinit, maceral pembentuk batubara umumnya berasosiasi satu nama lain
dengan perbandingan berbeda-beda asosiasi ini di kenal sebagai litotipe dan
mikrolitotipe litotipe merupakan pita-pita tipis dalam batubara yang terlihat
secara megaskopis.
Mikrolitotipe
seperti didefinisikan oleh The International Commitee for Coal Petrologi (ICCP,
1963) adalah suatu asosiasi maseral dengan ketebalan minimum 50 mikro meter.
Ketiga kelompok utama mikrolitotipe ditandai dengan 1 maseral, 2 maseral, dan 3
maseral tergantung apakah asosiasi maseral itu terdiri dari 1, 2, dan 3
kelompok maseral.
Analisa mikrolitotipe
dapat memberikan gambaran mengenai tekstur batubara. Jika ada dua batubara yang
mempunyai kandungan vitrinit hampir sama, tetapi yang satu (I) kandungan
vitrinitnya lebih tinggi dari yang lain (II), maka dapat disimpulkan bahwa
vitrinit yang terbentuk pada batubara I merupakan pita-pita tebal. Data ini
sangat dibutuhkan dalam perencanaan preparasi batubara tersebut. Ukuran
intertinit yang diperoleh sangat bermanfaat di dalam proses pengkokasan.
Selain
ketiga kelompok maseral tersebut di atas, batubara juga mengandung zat bukan
organik yang disebut mineral matter. Minerall matter (berhubungan langsung
dengan abu batubara) umumnya terbentuk sebagai material-material halus menyebar
pada batubara atau terkumpul membentuk lapisan-lapisan tipis (clay bands).
Gambar; Cekungan pengendapan batubara di Indonesia
Derajat Batubara
Derajat
batubara adalah posisi batubara pada seri kualifikasi mulai dari gambut sampai
antrasit. Perkembangannya sangat dipengaruhi oleh temperatur, tekanan dan waktu
(Lopatin, 1971; Bostick, 1973). Banyak parameter yang telah dipergunakan untuk
penentuan derajat batubara (cook, 1982), salah satu diantaranya adalah refleksi
vitrinit. Cara ini belum dikenal di Indonesia, tetapi telah berkembang pesat di
Amerika, JErman, Australia dan lain-lain, terutama perusahaan-perusahaan yang
berkecimpung di dalam eksplorasi minyak dan gas. Semua jenis mineral bisa
diukur refleksinya, tetapi kelompok vitrinit adalah yang umum dipilih. Kelompok
ini cenderung terbentuk sebagai pecahan-pecahan kasar dan homogen, merupakan
kelompok maseral utama pada kebanyakan batubara dan menunjukkan korelasi yang
bagus dengan parameter lain yang dipakai sebagai indikasi derajat batubara.
Dengan cara refleksi vbitrinit ini, pengukuran dapat dilakukan dengan singkat
dan pasti.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas jelaslah sudah bahwa petrologi batubara telah dimulai dari tahun
1883-an dan perkembangannya sangat pesat dari tahun 1920-an sampai saat ini.
KArena batubara bukan merupakan suatu benda yang homogen, maka pendekatannya
harus ditinjau dari 2 hal, yaitu jenis dan derajatnya.
Maseral,
litotipe dan mikrolitotipe adalah istilah-istilah yang diperkenalkan untuk
mempelajari jenis batubara, sedangkan refleksi vitrinit sebagai parameter untuk
derajat batubaranya.
Dari data
sifat-sifat fisik, kimia, jenis dan derajat batubaranya dapat ditentukan
jenis-jenis pemanfaatannya.
PENGARANG:
Bukin Daulay
Dikuti
dari "Penerbitan Teknik No. 03"